'Annyeonghaseyo,' Sebuah Penanda Ekspansi Budaya Korea
Sebuah tulisan oleh Kamran Dikarma.
Perhelatan Academy Awards ke-92 pada Februari 2020 mengukir sejarah baru bagi industri film Korea Selatan (Korsel). Parasite, garapan sutradara Bong Joon Ho, menyabet enam penghargaan, termasuk sebagai film terbaik. Parasite jadi film berbahasa Korea pertama yang dianugerahi penghargaan demikian. Negeri Ginseng unjuk gigi, bos!
Selain film terbaik, Bong Joon Ho juga meraih “titel” Best Director dalam pagelaran penghargaan film paling bergengsi sejagat tersebut. Bong jadi sutradara Korea pertama yang merengkuh Best Director di ajang Oscar. Pionir. Bayangkan perasaan Bong saat melihat namanya dalam nominasi disejajarkan dengan sutradara-sutradara kawakan Hollywood: Martin Scorsese, Quentin Tarantino, Todd Phillips, dan Sam Mendes.
“Mengalahkan” mereka di ajang Oscar mungkin tak pernah tebersit sebelumnya dalam benak Bong. Tapi, toh, sejarah berkata lain. (Karya) Bong ternyata dinilai mengungguli mereka. Bisa dipastikan, setelah acara Oscar usai, Bong memborong soju plus yakult di liquor store terdekat untuk perayaan kecil. Selamat, Bong! Buat Quentin Tarantino, jangan patah asa! Saya tetap penggemar setia karya-karya Anda. Udah dua tahun lalu juga, sih, ya.
Selain Parasite, tahun 2020 juga dihebohkan dengan rekor yang dicetak boy band Korsel, BTS (bukan Barudak Tangerang Selatan ya kepanjangannya). Single BTS berjudul Dynamite memecahkan rekor penayangan di Youtube. Dalam 24 jam, Dynamite ditonton 101,1 juta orang. Artinya, dalam sejam, ada sekitar 4,2 juta orang menonton video mereka. Sementara setiap menitnya ada lebih dari 70 ribu orang yang mengklik. Impresif memang.
Parasite dan BTS hanyalah dua contoh yang menunjukkan bahwa industri budaya Korea sudah merangsek, menjalar ke berbagai negara (kalau tidak bisa dibilang ke seluruh dunia). Mereka mungkin sudah bisa disebut sebagai “kompetitor” dari produk industri budaya Barat. Hal ini tentu masih bisa diperdebatkan. Silakan saja jika ada yang mau menguliti topik tersebut lebih lanjut.
Di luar tren fashion atau mode, memang ada hal lain yang saya rasakan sebagai dampak dari masifnya ekspansi industri budaya Korea. Saat ini, misalnya, saya tak merasa asing atau aneh ketika ada orang yang mengucapkan “kamsahamnida”, “annyeonghaseyo”, atau “saranghae”. Tiga kata itu seperti sudah lazim terdengar. Berseliweran. Meski cuma tiga kata, saya tetap melihat itu sebagai penanda bahwa budaya Korea (dalam hal ini bahasa) diterima dan diadopsi serta diperagakan ulang. Ekspansi industri budaya Korea yang masif tentu jadi faktor utama yang melatari fenomena kebahasaan itu.
Menurut saya cukup wajar memang. Kalau kalian perhatikan, jarang sekali (kalau tidak bisa disebut tidak ada) produk industri budaya Korea (lagu, film, drama, variety show, serial dan lainnya) yang menggunakan bahasa Inggris. Mereka tidak berusaha menggunakan bahasa Inggris agar karyanya bisa menembus pasar global. Ini tentu menarik.
Dulu, di Indonesia, pernah bersemai pandangan bahwa kalau mau go international, maka bahasa Inggris seolah jadi syarat wajib bagi sebuah karya, terutama musik. Alasannya biar jangkauan pasarnya bisa lebih luas. Pasar dalam konteks ini biasanya mengacu ke Eropa atau Amerika. Apakah saat ini masih ada yang menganut pandangan demikian? Saya yakin masih. Dan sah-sah saja, kok. Santai. Ini negara bebas, kata rezim.
Tapi sementara itu Korea, dalam konteks ini merujuk ke Korsel (karena Korea Utara masih komunis totok, bray), sudah mendobrak cara pandang demikian. Mereka keluar dan menjelajah dengan bahasa ibu mereka sendiri. Apakah hal itu terjadi karena banyak pelaku industri budaya Korea yang tak fasih berbahasa Inggris? Rasanya tidak juga. Saat tulisan ini dibuat, para personel BTS baru saja bertemu Presiden AS Joe Biden di Gedung Putih. Dalam pertemuan itu, salah satu anggota BTS berbahasa Inggris dengan sangat lancar. Meski tak bisa jadi patokan, tapi setidaknya hal itu membuktikan bahwa ada, bahkan mungkin banyak, pelaku industri budaya Korea yang fasih berbahasa Inggris. Tapi, toh, dalam pembuatan dan produksi karya, mereka tetap menggunakan bahasa ibunya. Bahasa Korea harga mati, pokoknya.
Saya lantas mulai mencari tahu, dengan digandrunginya produk industri budaya Korea termasuk persona para artisnya, apakah hal itu berdampak pada meningkatnya minat orang-orang untuk mempelajari bahasa negara tersebut?
BBC Indonesia, dalam laporannya pada 12 Juli 2018, pernah membuat artikel terkait hal ini. Dalam beritanya, BBC Indonesia mengutip laporan yang disusun Modern Language Association (MLA), sebuah asosiasi profesional berbasis di Amerika Serikat (AS). MLA mengungkapkan, pembelajaran bahasa Korea di berbagai universitas naik hampir 14 persen antara 2013 dan 2016. Sementara pengajaran bahasa-bahasa lain, kata MLA, mengalami penurunan. Menurut data MLA saat itu, terdapat 14 ribu mahasiswa mempelajari bahasa Korea di AS. Kalau dibandingkan dua dekade sebelumnya, hanya 163 mahasiswa di AS yang mempelajari bahasa Korea.
Aplikasi belajar bahasa, Duolingo Inc, dikutip Reuters dalam laporannya pada Oktober 2021 lalu, mengungkapkan, terdapat 76 persen kenaikan pengguna baru yang ingin belajar bahasa Korea di Inggris. Di AS peningkatannya mencapai 40 persen. Menurut Duolingo, terdapat 7,9 juta pengguna aktif di aplikasinya yang mempelajari bahasa Korea.
Di Aljazair, seperti dilaporkan BBC Indonesia, penelitian penggemar K-Pop di sana menemukan bahwa sebagian besar kata-kata dan frasa dalam bahasa Korea sudah digunakan dalam percakapan sehari-hari. Fenomena demikian sepertinya turut terjadi di Indonesia. Sudah cukup sering saya melihat iklan atau penawaran tempat kursus bahasa Korea.
Startup pendidikan digital, Zenius, meluncurkan program belajar bahasa Korea tahun lalu. Alasannya karena tingginya minat di Indonesia. “Peminat bahasa Korea semakin meningkat. Zenius ingin memberikan wadah untuk model pembelajaran yang efektif, namun menyenangkan bagi siapa pun,” kata CEO Zenius Rohan Monga, dikutip dalam laporan KataData.co.id, 13 Desember 2021.
Saat ini terdapat empat universitas di Indonesia yang mempunyai program studi Korea, yakni Universitas Gajah Mada, Universitas Nasional, Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas Indonesia. Program studi Korea di Universitas Indonesia yang dimulai pada 2006 adalah salah satu yang populer. Pendaftarnya mengalahkan jurusan Sastra Inggris dan Hubungan Internasional. “Di Universitas Indonesia sendiri Prodi Korea sudah loncat jauh, peminatnya tinggi. Bahkan kalau dilihat dari jumlahnya sudah mengalahkan peminat seperti HI (Hubungan Internasional),” kata Kepala Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Eva Latifah, dikutip BBC Indonesia pada Juli 2018 lalu.
Kalau berkaca dari serangkaian data tadi, gempita industri budaya Korea ternyata memang bukan cuma persoalan fashion/mode, gaya rambut, koreo tari, make-up, dan lainnya. Ada ekspansi lain yang mungkin tak banyak disadari; bahasa. Jika industri budaya Korea tetap masif secara konstan dalam rentang waktu yang lama, tak menutup kemungkinan bahasa Korea bisa menjadi bahasa internasional. Siapa tahu?
“A language becomes a global language because the power of the people who speak it,” kata ahli linguistik asal Inggris, David Crystal.